Friday, October 25, 2019

Desain Logo Kota Yogyakarta

Logo Kota Yogyakarta
Dasar Hukum
Ketetapan DPRD Nomor 2 Tahun 1952 ihwal Penetapan Lambang Kota Praja Yogyakarta
Makna Lambang :
  1. Perbandingan ukuran 18 : 25 , untuk memperingati tahun permulaan usaha Pangeran Diponegoro di Yogyakarta (tahun 1825)
  2. Warna Hitam : Simbol Keabadian
    • Warna Kuning dan Keemasan : Simbol Keluhuran
    • Warna Putih : Simbol Kesucian
    • Warna Merah : Simbol Keberanian
    • Warna Hijau : Simbol Kemakmuran
  3. Mangayu Hayuning Bawono : Cita-cita untuk menyempurnakan masyarakat
  4. Bintang Emas : Cita-cita kesejahteraan yang sanggup dicapai dengan usaha dibidang kemakmuran
    •  Padi dan kapas: Jalan yang ditempuh dalam usaha kemakmuran pangan dan sandang
  5. Perisai : Lambang Pertahanan
  6. Tugu : Ciri khas Kota Yogyakarta
  7. Dua sayap : Lambang kekuatan yang harus seimbang
  8. Gunungan : Lambang kebudayaan
    • Beringin Kurung : Lambang Kerakyatan
    • Banteng : Lambang semangat keberanian
    • Keris : Lambang perjuangan
  9. Terdapat dua sengkala
    • Gunaning Keris Anggatra Kota Praja : Tahun 1953 merupakan tahun permulaan pemakaian Lambang Kota Yogyakarta
    • Warna Hasta Samadyaning Kotapraja : Tahun 1884
FLORA DAN FAUNA IDENTITAS KOTA YOGYAKARTA

Dalam rangka menumbuhkan menjadi pujian dan maskot daerah telah ditetapkan pohon Kelapa Gading (Cocos Nuciferal vv.Gading) dan Burung Tekukur (Streptoplia Chinensis Tigrina) sebagai tumbuhan dan fauna identitas Kota Yogyakarta

Keberadaan pohon Kelapa Gading begitu menempel pada kehidupan masyarakat Yogyakarta, lantaran dikenal sebagai tumbuhan raja serta memiliki nilai filosofis dan budaya yang sangat tinggi, sebagai kelengkapan pada upacara tradisional/religius, memiliki makna simbolis dan berkhasiat sebagai obat tradisional.

Burung tekukur dengan bunyi merdu dan sosok tubuh yang indah bisa memperlihatkan suasana kedamaian bagi yang mendengar, menjadi kesayangan para pangeran dilingkungan kraton.  Dengan mendengar bunyi burung tekukur diperlukan orang akan terikat kepada Kota Yogyakarta.
 Sejarah Kota
SEJARAH KOTA YOGYAKARTA
Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti : Negara Mataram dibagi dua : Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.

Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya ialah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan.

Setelah simpulan Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera memutuskan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.

Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan sentra pemerintahan ini ialah Hutan yang disebut Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil berjulukan Pachetokan, sedang disana terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diatas diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan Kraton.

Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Menempatinya pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah ia selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan.

Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki Istana Baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di Kraton yang baru. Peresmian mana terjadi Tanggal 7 Oktober 1756
Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu tempat diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak taktik berdasarkan segi pertahanan keamanan pada waktu itu
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mendapatkan piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya pada tanggal 5 September 1945 ia mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah spesial yang menjadi cuilan dari Republik Indonesia berdasarkan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945.  Dan pada tanggal 30 Oktober 1945, ia mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah spesial Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII gotong royong Badan Pekerja Komite Nasional

Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi cuilan dari Kesultanan maupun yang menjadi cuilan dari Pakualaman telah sanggup membentuk suatu dewan perwakilan rakyat Kota dan Dewan Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan Pakualaman, tetapi Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, alasannya ialah kekuasaan otonomi yang mencakup aneka macam bidang pemerintahan massih tetap berada di tangan Pemda spesial Yogyakarta.

Kota Yogyakarta yang mencakup daerah Kasultanan dan Pakualaman gres menjadi Kota Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947, dalam pasal I menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang mencakup wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang kini menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.  Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakaarta.
Untuk melakukan otonomi tersebut Walikota pertama yang dijabat oleh Ir.Moh Enoh mengalami kesulitan lantaran wilayah tersebut masih merupakan cuilan dari Daerah spesial Yogyakarta dan statusnya belum dilepas.  Hal itu semakin faktual dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 ihwal Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana Daerah spesial Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi cuilan Daerah spesial Yogyakarta.

Selanjutnya Walikota kedua dijabat oleh Mr.Soedarisman Poerwokusumo yang kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah Harian serta merangkap menjadi Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu berjulukan DPR-GR dengan anggota 25 orang.  DPRD Kota Yogyakarta gres dibuat pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil Pemilu 1955.
Dengan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 ihwal pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, kiprah Kepala Daerah dan DPRD dipisahkan dan dibuat Wakil Kepala Daerah dan tubuh Pemerintah Harian serta sebutan Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta.

Atas dasar Tap MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 ihwal Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.  Berdasarkan Undang-undang tersebut, DIY merupakan Propinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin oleh Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur Kepala Daerah spesial Yogyakarta dan Wakil Gubernur Kepala Daerah spesial Yogyakarta yang tidak terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengankatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya, khususnya bagi beliiau Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII.  Sedangkan Kotamadya Yogyakarta merupakan daerah Tingkat II yang dipimpin oleh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dimana terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala Daerah Tingkat II ibarat yang lain.

Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah secara otonom semakin mengemuka, maka keluarlah Undang-undang No.22 Tahun 1999 ihwal Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas,nyata dan bertanggung jawab.  Sesuai UU ini maka sebutan untuk Kotamadya Dati II Yogyakarta diubah menjadi Kota Yogyakarta sedangkan untuk pemerintahannya disebut denan Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta sebagai Kepala Daerahnya.
dikutip dari :http://www.jogjakota.go.id

0 comments:

Post a Comment

 

Resources

Travel

Labels