Wednesday, October 2, 2019

Desain Logo Kota Bukittinggi

Logo Kota Bukittinggi
Kota Bukittinggi ialah salah satu kota di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Kota ini pernah menjadi ibu kota Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.

Bukittinggi sebelumnya disebut dengan Fort de Kock dan dahulunya pernah dijuluki sebagai Parijs van Sumatra selain kota Medan.[5] Kota ini merupakan tempat kelahiran beberapa tokoh pendiri Republik Indonesia, di antaranya ialah Mohammad Hatta dan Assaat yang masing-masing merupakan proklamator dan pejabat presiden Republik Indonesia.

Selain sebagai kota perjuangan, Bukittinggi juga populer sebagai kota wisata yang berhawa sejuk, dan bersaudara (sister city) dengan Seremban di Negeri Sembilan, Malaysia. Seluruh wilayah kota ini berbatasan eksklusif dengan Kabupaten Agam. Tempat wisata yang ramai dikunjungi ialah Jam Gadang, yaitu sebuah menara jam menyerupai Big Ben yang terletak di jantung kota sekaligus menjadi simbol bagi kota yang berada pada tepi sebuah lembah berjulukan Ngarai Sianok.
Kota Bukittinggi mulai berdiri seiring dengan kedatangan Belanda yang kemudian mendirikan kubu pertahanan pada tahun 1825 pada masa Perang Padri di salah satu bukit yang terdapat dalam kota ini. Tempat ini dikenal sebagai benteng Fort de Kock, sekaligus menjadi tempat peristirahatan opsir-opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya. Kemudian pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, daerah ini selalu ditingkatkan kiprahnya dalam ketatanegaraan yang kemudian menjelma sebuah Stadsgemeente (kota), dan juga berfungsi sebagai ibu kota Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan Onderafdeeling Oud Agam.

Pada masa pendudukan Jepang, Kota Bukittinggi dijadikan sebagai sentra pengendalian pemerintahan militernya untuk daerah Sumatera, bahkan hingga ke Singapura dan Thailand. Kota ini menjadi tempat kedudukan komandan militer ke-25 Kenpeitai, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Hirano Toyoji. Kemudian kota ini berganti nama dari Stadsgemeente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang wilayahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari sekitarnya menyerupai Sianok Anam Suku, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba dan Bukit Batabuah. Sekarang nagari-nagari tersebut masuk ke dalam wilayah Kabupaten Agam.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi dipilih menjadi ibu kota provinsi Sumatera, dengan gubernurnya Mr. Teuku Muhammad Hasan. Kemudian Bukittinggi juga ditetapkan sebagai wilayah pemerintahan kota menurut Ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Nomor 391 tanggal 9 Juni 1947.

Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kota Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan, ketika pada tanggal 19 Desember 1948 kota ini ditunjuk sebagai ibu kota negara Indonesia sesudah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda atau dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Di kemudian hari, bencana ini ditetapkan sebagai Hari Bela Negara, menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 18 Desember 2006.

Selanjutnya Kota Bukittinggi menjadi Kota Besar menurut Undang-undang Nomor 9 Tahun 1956 ihwal pembentukan daerah otonom kota besar dalam lingkungan daerah provinsi Sumatera Tengah masa itu, yang mencakup wilayah provinsi Sumatera Barat, Jambi, Riau dan Kepulauan Riau sekarang.

Dalam rangka ekspansi wilayah kota, pada tahun 1999 pemerintah menerbitkan PP Nomor 84 Tahun 1999 yang isinya menggabungkan nagari-nagari di sekitar Bukittinggi ke dalam wilayah kota. Nagari-nagari tersebut yaitu Cingkariang, Gaduik, Sianok Anam Suku, Guguak Tabek Sarojo, Ampang Gadang, Ladang Laweh, Pakan Sinayan, Kubang Putiah, Pasia, Kapau, Batu Taba, dan Koto Gadang. Namun sebagian masyarakat di 12 nagari tersebut menolak untuk bergabung dengan Bukittinggi, sehingga peraturan tersebut hingga ketika ini belum sanggup dilaksanakan.
Perkembangan penduduk Bukittinggi tidak terlepas dari berubahnya tugas kota ini menjadi sentra perdagangan di dataran tinggi Minangkabau. Hal ini ditandai dengan dibangunnya pasar oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1890 dengan nama loods. Masyarakat setempat mengejanya dengan loih, dengan atap melengkung kemudian dikenal dengan nama Loih Galuang.

Saat ini kota Bukittingi merupakan kota terpadat di provinsi Sumatera Barat, dengan jumlah angkatan kerja 52.631 orang dan sekitar 3.845 orang di antaranya merupakan pengangguran. Kota ini didominasi oleh etnis Minangkabau, namun terdapat juga etnis Tionghoa, Jawa, Tamil dan Batak.

Masyarakat Tionghoa tiba bersamaan dengan munculnya pasar-pasar di Bukittinggi. Mereka dizinkan pemerintah Hindia-Belanda membangun toko/kios pada kaki bukit benteng Fort de Kock, yang terletak di bab barat kota, membujur dari selatan ke utara, dan ketika ini dikenal dengan nama Kampung Cino. Sementara pedagang India ditempatkan di kaki bukit sebelah utara, melingkar dari arah timur ke barat dan kini disebut juga Kampung Keling.

0 comments:

Post a Comment

 

Resources

Travel

Labels